Sejarah Kota Semarang
Lahirnya Kota Semarang
Kota Semarang Jawa Tengah berawal kurang lebih pada abad ke – 8, yaitu di daerah pesisir yang Bernama Pragota (Bergota) yang merupakan daerah dari kekuasaan kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut merupakan pelabuhan dan di sekitarnya terdapat beberapa pulau – pulau kecil akibat dari pengendapan. Pulau – pulau kecil tersebut sekarang menyatu dan membentuk daratan, serta sekarang bernama Kota Semarang. Bagian Kota Semarang Bawah yang menjadi pusat kegiatan dari Kota Semarang dahulunya merupakan laut.
Diceriatakan terdapat seorang dari kesultanan Demak bernama Made Pandan, seorang maulana dari Arab yang nama aslinya Maulana Ibnu Abdul Salam mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang. Bersama putranya, Made Pandan meninggalkan Demak menuju ke daerah barat di suatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirangan dan membuka hutan dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang jarang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan nama daerah itu menjadi Semarang. Made Pandan mula-mula mengawali tugasnya dengan membangun sebuah masjid yang sekaligus dijadikan sebagai padepokan untuk pusat kegiatan dalam mengjarkan agama Islam.
Masjid inilah yang merupakan cikal-bakal Masjid Agung Semarang. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini belum menempati tempatnya yang sekarang. Terletak di kawasan Mugas (sekarang termasuk wilayah kecamatan Semarang Selatan). Sebagai pendiri desa dan pemuka agama di daerah setempat, Made Pandan bergelar Ki Ageng Pandan Arang. Lambat laun pengaruh Ki Ageng Pandan Arang semakin besar dan daerah tersebut juga semaki menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat terpenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, dinobatkan menjadi Bupati Semarang yang pertama. Peristiwa itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Pada tanggal itu “secara adat dan politis berdirilah kota Semarang”.
Ki Ageng Pandan Arang
Masa pemerintahan Pandan Arang menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Setelah dinobatkan menjadi bupati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandan Arang menjadi masjid yang dibangunnya sekadar untuk tempat ibadah dan tempat mengajarkan agama saja, tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan, sehingga beliau pindah di daerah yang lebih strategis di kota Semarang bagian bawah di Bubakan. Tidak lama setelah itu Ki Ageng Pandan Arang wafat pada 1496 dan dimakamkan di bukit Pakis Aji. Tempat ziarah ini identik dengan gapura berwarna hijau dengan tulisan aksara Jawa yang berlokasi di Jalan Mugas,Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kedudukannya sebagai bupati sekaligus sebagai pemimpin dan penyebar agama digantikan oleh putranya yang begelar Ki Ageng Pandan Arang II. Beliau hanya tiga tahun menduduki tahta kabupaten karena atas nasihat Sunan Kalijaga, beliau lebih mengutamakan tugasnya sebagai penyebar agama daripada tugas memimpin pemerintahan.
Ki Ageng Pandan Arang II
Ki Ageng Pandan Arang II kemudian melanglang buana ke arah selatan untuk menyebarkan agama Islam di kawasan yang kemudian dinamakan Salatiga, Boyolali dan terus menuju Klaten. Beliau juga mendirikan padepokan sebagai pusat penyebaran agama di suatu tempat yang dinamakan Tembayat, sehingga beliau juga terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat. Beliau wafat di tempat itu pada tahun 1553 dan dimakamkan di bukit Jabalkat (dari bahasa arab Jabal Qof). Sesudah bupati Pandan Arang II mengundurkan diri, kedudukan sebagai Bupati dan pemimpin agama di Semarang digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Ki Ageng Pandan Arang III (1553 – 1586) sekaligus juga bergelar pangeran Mangkubumi I. Beliau digantikan putranya yang bernama Kyai Khalifah yang bergelar Pangeran Mangkubumi II (1631 – 1657). Kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Kyai Mas Tumenggung Tambi (1657 – 1659), selanjutnya Kyai Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 – 1666), Kyai Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666 – 1670), Kyai Mas Tumenggung Alap-alap (1670 – 1674).
Cheng Ho atau Sam Poo Kong
Pada masa yang tak jauh berbeda, sekitar abad ke-15 tepatnya tahun 1452 laksamana Zhèng Hé, atau yang lebih dikenal dengan Cheng Ho atau Sam Poo Kong mengadakan pelayaran menyusuri pantai laut Jawa. Ia menyusuri sebuah sungai yang sekarang dikenal dengan sebutan Kaligarang kemudian mendarat di Simongan dan mendirikan sebuah masjid karena Sam Poo Kong adalah seorang muslim. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu). Beratus-ratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1724 diadakanlah satu upacara sekaligus pembangunan kuil sebagai tanda terima kasih kepada Sam Poo Kong. Sam Poo Kong sendiri adalah seorang Islam dilahirkan di daerah Kemnyan, di Kawasan Yunnan Tengah. Ayahnya adalah seorang Haijin sedang nama keluarganya adalah Ma. Orang-orang keturunan Cina menganggap bangunan itu adalah sebuah klenteng. Mengingat bangunannya berarsitektur Cina yang menjadikannya mirip sebuah klenteng. Sekarang tempat tersebut difungsikan menjadi tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat berziarah. Untuk keperluan tersebut maka diletakkanlah sebuah altar serta patung-patung Sam Poo Kong.
Mereka memuja Sam Poo Kong sebagai orang yang patut dihormati dan dijunjung tinggi. Konon, altar ini digunakan sebagai tempat ibadah Sam Poo Kong dan pasukannya yang mayoritas Tionghoa. Tempat ini diyakini sebagai tempat Sam Poo Kong melaksanakan sholat. Selain itu, klenteng Sam Poo Kong juga merupakan tempat wisata yang menarik, tempat ini terletak di daerah Simongan, Semarang dan dikenal juga dengan sebutan Gedung Batu. Konon disebutkan demikian karena asal mula tempat ini adalah sebuah goa batu yang terletak pada sebuah bukit batu. Klenteng Sam Poo Kong berbentuk bangunan tunggal beratapsusun. Berbeda dengan yang lain, klenteng ini tidak memiliki serambi yang terpisah. Pada bagian tengah terdapat ruang pemujaan Sam Poo Kong, sementara atapnya berbentuk limasan khas Jawa dengan arsitektur Cina. Di sini terdapat juga beberapa hiasan batu. Sebuah perahu dengan sebuah pohon menjadi bagian yang unik di klenteng Sam Poo Kong yang mana diyakini penduduk setempat sebagai pohon yang tumbuh dari jangkarnya Cheng Ho. Selain tempat pembakaran yang berbentuk buah labu, klenteng Sam Poo Kong mempunyai dua ekor patung naga khas Cina. Naga ini juga terlihat di dinding yang menggambarkan dua ekor naga keluar dari ombak di lautan mencoba menelan sebuah benda berbentuk bulat.
Klenteng Sam Poo Kong sangat luas dan terdiri dari beberapa bangunan. Ada bangunan sejenis pendopo yang menjual Hio untuk kepentingan orang sembahyang. Kemudian ada lagi pendopo, di mana kita bisa memanfaatkan jasa pemotretan dengan menggunakan baju tradisional Cina. Sementara bangunan utamanya adalah klenteng itu sendiri yang terbagi menjadi beberapa tempat pemujaan. Yang pertama tempat pemujaan Dewa Bumi atau Fu De Zheng Shen yang berupa arca. Tempat ini disebut klenteng Thao Tee Kong yang merupakan tempat pemujaan untuk mengucapkan rasa terima kasih atau memohon berkah dan keselamatan hidup kepada dewa yang menguasai bumi. Tempat pemujaan Kyai Juru Mudi adalah tempat makam juru mudi kapal yang ditumpangi Sam Poo Kong dulunya yang bernama Dampo Awang. Pemujaan Kyai Juru Mudi ada di dekat goa, tempat ini banyak diziarahi, luas tempat ini sekitar 162 m2. Kemudian yang ketiga adalah tempat pemujaan Sam Poo Kong yang berupa arca.
Pemujaan Sam Poo Kong ini adalah pusat dari seluruh kegiatan yang ada dalam kompleks Gedung Batu. Tempat ini digunakan untuk bersembahyang, memohon doa restu keselamatan, kesehatan, serta mengenang jasa Sam Poo Kong. Di tempat ini terdapat pula goa yang memiliki sumber air yang konon terus menerus mengalir. Goa ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Poo Kong. Yang keempat adalah tempat pemujaan Kyai Jangkar yakni tempat di mana terdapat jangkar kapal yang dipercaya digunakan Sam Poo Kong sewaktu mendarat di Simongan. Jangkar ini sering disembahyangi warga keturunan Cina dengan maksud agar bisa mendapatkan berkat dan rezeki. Tempat pemujaan Kyai Cundrik Bumi, tempat ini merupakan tempat penyimpanan pusaka atau senjata yang sempat dibawa Sam Poo Kong. Yang keenam adalah tempat pemujaan Kyai dan Nyi Tumpeng, tempat ini berupa prasasti yang berbentuk makam yang biasanya digunakan untuk bersemedi dan memohon berkah. Di bagian tengah klenteng Sam Poo Kong terdapat halaman yang luas, beberapa patung berdiri di sini.
Sementara di bagian belakang terdapat pintu gerbang yang sangat besar. Ada pula beberapa lilin raksasa dengan nama penyumbangnya, lilin ini dibiarkan begitu saja agar tetap menyala sampai habis. Di sebelah kiri goa batu terdapat sebuah batu piagam, batu berukir ini diukir dalam tiga Bahasa; Cina, Indonesia, dan Inggris. Batu berukir atau batu piagam ini sebenarnya dibuat khusus untuk memperingati kedatangan Sam Poo Kong yang merupakan sumbangan dari keluarga Liem Djing Tjie pada tahun 1960. Selain itu di kompleks klenteng ini direncanakan dibangun dapur atau WC umum yang merupakan sarana umum seluas 336 m2, demikian halnya dengan kantor atau gudang rencananya seluas 495 m2. Sementara itu pintu utama yang juga merupakan pintu masuk kedua yang mempunyai ukuran 489 m2 dirancangkan agar dapat difungsikan juga sebagai panggung gembira. Klenteng Sam Poo Kong ini sebenarnya sudah mempunyai pelataran terbuka seluas 1,6 Ha sejak tahun 80an dan pelataran ini tetap dipertahankan sebagai area terbuka. Perayaan tahunan peringatan pendaratan Sam Poo Kong sendiri merupakan salah satu agenda wisata kota Semarang. Perayaan ini dimulai dari klenteng Tay Kak Sie gang Lombok dengan upacara agama. Baru kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan patung Sam Poo Kong menuju Gedung Batu, sesampainya patung ini kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Poo Kong yang asli di Gedung Batu.
Masa Kejayaan VOC
tempat ini berupa prasasti yang berbentuk makam yang biasanya digunakan untuk bersemedi dan memohon berkah. Di bagian tengah klenteng Sam Poo Kong terdapat halaman yang luas, beberapa patung berdiri di sini. Sementara di bagian belakang terdapat pintu gerbang yang sangat besar. Ada pula beberapa lilin raksasa dengan nama penyumbangnya, lilin ini dibiarkan begitu saja agar tetap menyala sampai habis. Di sebelah kiri goa batu terdapat sebuah batu piagam, batu berukir ini diukir dalam tiga Bahasa; Cina, Indonesia, dan Inggris. Batu berukir atau batu piagam ini sebenarnya dibuat khusus untuk memperingati kedatangan Sam Poo Kong yang merupakan sumbangan dari keluarga Liem Djing Tjie pada tahun 1960. Selain itu di kompleks klenteng ini direncanakan dibangun dapur atau WC umum yang merupakan sarana umum seluas 336 m2, demikian halnya dengan kantor atau gudang rencananya seluas 495 m2.
Sementara itu pintu utama yang juga merupakan pintu masuk kedua yang mempunyai ukuran 489 m2 dirancangkan agar dapat difungsikan juga sebagai panggung gembira. Klenteng Sam Poo Kong ini sebenarnya sudah mempunyai pelataran terbuka seluas 1,6 Ha sejak tahun 80an dan pelataran ini tetap dipertahankan sebagai area terbuka. Perayaan tahunan peringatan pendaratan Sam Poo Kong sendiri merupakan salah satu agenda wisata kota Semarang. Perayaan ini dimulai dari klenteng Tay Kak Sie gang Lombok dengan upacara agama. Baru kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan patung Sam Poo Kong menuju Gedung Batu, sesampainya patung ini kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Poo Kong yang asli di Gedung Batu.
Pemerintahan Pakubuwana I dibawa ke perjanjian baru dengan Belanda sebagai pengganti yang pernah ditandatangani oleh Amangkurat II. Perjanjian lama mengatur bahwa Mataram wajib membayar biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden, dan perjanjian baru mengatur bahwa Mataram wajib mengirimkan 13.000 ton beras per tahun selama 25 tahun. Pakubowono I dikenal juga sebagai Sunan Ngalaga atau Pangeran Puger lahir di Plered, Mataram pada tahun 1648, wafat di Kartasura, Mataram pada tanggal 22 Februari 1719. Pakubuwono I merupakan susuhunan Mataram ketujuh yang memerintah antara tahun 1704 – 1719. Ia merupakan paman dari Amangkurat III dan menggantikan keponakannya sebagai sunan menggunakan gelar baru untuk garis keturunannya, dengan gelar Pakubuwana. Kebanyakan kronik Jawa (babad) menggambarkannya sebagai seorang penguasa yang bijaksana dan agung.
Pada tahun 1705 Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, mulai tahun 1708 VOC memindahkan kedudukan kantornya dari Jepara ke Semarang Bangsa penjajah mulai memasuki kota Semarang pada masa pemerintahan bupati ke-10, bernama Kyai Mas Tumenggung Judonegoro, yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suromenggolo (1674 – 1713). Kemudian beliau digantikan Kyai Tumenggung Mertoyudo yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo I (1743 – 1751). Gambaran tentang lingkungan geografis kota Semarang kuno mengungkapkan bahwa pada akhir abad ke-17 Semarang merupakan salah satu kota pantai di Jawa yang terbesar. Penguasa Jawa (bupati Semarang yang pertama di bawah VOC, Suro Hadimenggolo I tinggal di rumah besar yang dibuat dari batu. Untuk menuju ke rumahnya, orang harus melalui jembatan besar dan tinggi yang melintasi sungai. Di dekat rumah bupati juga terdapat sebuah pasar yang besar, tempat orang-orang dapat membeli segala kebutuhan. Dari Semarang juga terbentang jalan ke pedalaman, dari Utara ke Selatan, yaitu jalan yang biasa dilalui oleh para utusan penguasa pantai Utara-Timur Jawa ke Susuhunan di Mataram. Di kota ini pula penguasa VOC untuk wilayah pantai Utara-Timur Jawa bertempat tinggal. Pada masa pemerintahan Adipati Suro Hadimenggolo I terjadi peristiwa kebakaran besar yang memusnahkan masjid peninggalan ki Ageng Pandan Arang.
Peristiwa bermula akibat terjadinya pemberontakan orang – orang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dipicu permasalahan persaingan dagang oleh VOC. Karena lokasi Masjid Agung Semarang berdekatan dengan VOC di Bubakan dan juga tak jauh dari kampung Pecinan maka mengakibatkan Masjid Agung Semarang ikut terbakar habis. Usaha mendirikan masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo I dan lokasinya tidak menempati tempat yang lama, tetapi pindah ke lokasi yang lebih srtategis di sebelah barat Bubakan yaitu tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Barat Semarang. Tepatnya diujung Jalan Kauman, si sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa Kabupaten yang lazim disebut “kanjengan”. Pada transisi abad XVII ke XVIII, Mataram Islam dan VOC tengah berhadapan dengan krisis finansial yang memunculkan ragam konflik horizontal di Jawa. Puncak konflik ialah terjadinya dua peristiwa besar secara beruntun, yakni pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia (1740) dan Geger Pacina (1740-1743).
Kyai Bustam
Kyai Bustam mengambil peran sebagai juru bahasa (penerjemah) Belanda-Jawa. Wilayah yang disebut Bustaman kini. Diangkat menjadi kepala jaksa sekaligus wakil bupati di Terbaya, bergelar Ngabehi Kartabasa. Kiai Bustam memiliki andil dalam memberikan gagasan memisahkan Mataram menjadi dua kerajaan yakni Surakarta dan Yogyakarta melalui perjanjian Giyanti yang terkenal itu. Kyai Bustam berperan penting dalam penandatangan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) sebagai juru penerjemah dari dan ke Bahasa Jawa-Bahasa Belanda. Perjanjian Giyanti (1755) merupakan cikal bakal lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Geger Pacina masih menyisakan gugusan api pemberontakan yang nyalanya dijaga oleh para pangeran Mataram Islam. Pada periode tersebut terdapat Habib Thoha yang merupakan seorang guru besar para sultan, adipati, maupun senopati di wilayah Jawa yang mendapat gelar kraton dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Kusumo. Pada saat itu Sayid Thoha dan keluarga berdomisili di daerah Depok Semarang bersama Raden Kertoboso membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mendirikan Kraton Ngayogyakart Hadiningrat. Kemudian karena bantuan dari beberapa pihak maka beridirlah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pangeran Mangkubumi naik tahta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubowono I.
Mbah Depok
Beberapa waktu kemudian, Sayid Thoha yang berpindah ke Penang Mataram apabila tidak mau mengembalikan maka Sayid Thoha bersama pasukannya akan mengobarkan peperangan di Asia Afrika. Karena permintaan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I dikembalikan ke Tanah mataram langsung diantar oleh Sayid Thoha. Sayid Thoha pun dinikahkan dengan salah satu putri Sri Sultan Hamengkubuwono I dan kembali mendiami Depok Semarang. Dari sinilah, beliau mendirikan perguruan atau padepokan untuk tempat belajar bagi para muridnya dan mendapat julukan Mbah Depok. Mbah Depok kemudian wafat dan dimakamkan di Lamper Kidul, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang Pada 1746, Pg. Mangkubumi (Sultan HB I) kraman, kemudian menjalin aliansi dengan R.M. Said (Mangkunegara I). Pada 1752, aliansi pemberontak pecah.
Momentum ini dimanfaatkan oleh Sunan PB III dan VOC untuk mengembalikan stabilitas sosial- politik di Jawa. Ngabehi Kartabasa tergabung dalam tim garda terdepan dalam upaya negosiasi, baik terhadap P. Mangkubumi (1755) maupun R.M. Said (1757). Pada tahun 1817 pemerintah Kolonial menerapkan lisensi sewa pajak penyembelihan hewan yang dipegang oleh orang-orang cina untuk wilayah Jawa dan Madura (kecuali Priangan dan Krawang). Pada tahun 1898 aturan tersebut dicabut dan diganti dengan aturan pajak baru, sehingga orang Tionghoa tidak lagi mendominasi bisnis pemotongan hewan. Pada tahun 1902 Tasripin mendapatkan Lisensi sewa Pajak penyembelihan hewan di Kampung Kulitan. RPH Kampung Bustaman dikatakan illegal karena tidak menggantongi izin, namun melihat besarnya perputaran uang pada pasar hewan dan pengolahan daging kambing di Kampung Bustaman pada tahun 1915 pemerintah Kota Semarang memberikan izin didirikan pasar tradisional domba dan kambing Kampung Bustaman sah. Berdasarkan hasil liputan koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie pada 14 Desember 1926 menggambarkan, Bukan hanya menyediakan kambing dan domba utuh untuk dijual belikan, penduduk Kampung Bustaman juga menjadikan hewan-hewan tersebut untuk olahan lainnya seperti Gulai dan Sate.
Pengganti Suro Hadimenggolo II bernama Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Suro Hadimenggolo II (1751 – 1773). Pada masa ini terjadi usaha perbaikan besar-besaran terhadap bangunan Masjid Agung Semarang. Hingga menjadi sebuah masjid yang benar-benar megah dan anggun pada waktu itu. Karena peran Bupati Suro Hadimenggolo II dalam pembangunan Masjid, ada yang menjulukinya sebagai “desticher van de ecrste te Semarang” (pendiri masjid besar yang pertama di Semarang). Perbaikan masjid berlangsung selama dua tahun yaitu mulai tahun 1759 sampai 1760. Beliau wafat kira-kira 13 tahun setelah selesainya pembangunan masjid. Dan sejak tahun 1773 beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Suro Hadimenggolo IV. Pangeran Terboyo yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo V ialah salah satu putra kraton Surakarta, dia anak dari Kiai Soerodirjo dan merupakan cucu dari Kiai bustam. Istri pangeran Terboyo adalah putri dari pangeran Sambernyawa yang juga tokoh pejuang yang gigih melawan penjajah. Oleh karena itu jangan heran jika corakcorak di kompleks makam pangeran Terboyo dan masjid Terboyo, atau juga dikenal sebagai Masjid Al-Fatah, yang berdiri megah di dalamnya bercorak mengikuti gaya kraton Surakarta. Kanjeng Adipati Terboyo lahir pada tahun 1731 dan meninggal pada tahun 1834. Jasadnya dimakamkan di belakang Masjid Terboyo, dan Masjid Terboyo itulah salah satu warisannya yang sampai saat ini masih berdiri di Jalan Kiai Terboyo, Semarang. Pangeran Terboyo bergelar Kyai Mas Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo V (1778 – 1841).
Pangeran Terboyo
Pada periode Pangeran Terboyo terdapat pejuang kemerdekaan yangbernama As-Sayyid Al-Habib Hassan bin Thoha bin Yahya atau yang dikenal dengan Syekh Kramat Jati. Syekh Kramat Jati adalah kerturunan dari Habib Thoha. Habib Hasan lahir pada tahun 1736. Syekh Kramat Jati merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Selain itu, ia dijuluki Mbah Singo Barong karena sangat garang dan gagah seperti Singa saat berperang melawan penjajah. Habib Hasan memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Keraton Jogjakarta. Dia adalah menantu Sultan Hamengku Buwono II dan ipar Hamengku Buwono III. Karena itulah, ia mendapatkan gelar Raden Tumenggung Sumodiningrat dan kerap disebut Syekh Kramat Jati. Di Pekalongan beliau mendirikan pesantren dan masjid di Desa Keputran. Pengaruh Habib Hasan mulai dari Banten sampai Semarang sangat luar biasa. Sebelum meletusnya Perang Padri, pesantrennya sempat dibumihanguskan oleh penjajah. Habib Hasan pun berhijrah ke wilayah Jogjakarta. Lalu mengamankan perbatasan Jateng dan Jogjakarta pada tahun 1790-an.
Berpindahnya Habib Hasan di Semarang berawal dari kekacauan yang tak bisa dihadapi Adipati Semarang. Ia diutus Sultan Hamengkubuwono III untuk datang membantu. Setelah tugas tuntas, beliau tak berhenti begitu saja. Mbah Kramat Jati wafat pada tahun 1818 masehi dan dimakamkan di Jalan Taman Duku Kelurahan Lamper Kidul Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang Pada masa ini lahirlah Saleh Sjarif Boestaman atau dikenal sebagai Raden Saleh lahir pada Mei 1811 – 23 April 1880 adalah seorang pelukis Hindia Belanda beretnis Arab-Jawa yang menjadi pionir seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School). Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda. Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Saleh kembali ke Hindia Belanda pada 1852 setelah 20 tahun menetap di Eropa. Dia bekerja sebagai konservator lukisan pemerintahan kolonial dan mengerjakan sejumlah portret untuk keluarga kerajaan Jawa, sambil terus melukis pemandangan. Pada 1867, Raden Saleh menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Kraton Yogyakarta bernama Raden Ayu Danudirja dan pindah ke Bogor, dimana ia menyewa sebuah rumah dekat Kebun Raya Bogor yang berpemandangan Gunung Salak. Kemudian Raden Saleh wafat pada tanggal 23 April 1880 di Bogor. Setelah masa kepemimpinan Pangeran Terboyo, kemudian digantikan oleh Suhadimenggolo VI (1841 – 1845). Pada masa ini terdapat panglima perang yang juga ikut menyebarkan agama Islam yaitu Ki Ageng Galang Sewu. Beliau lahir sekitar tahun 1790-an. Berasal dari keluarga Bustaman Semarang, yaitu cucu dari Kyai Bustaman. Beliau merupakan panglima perang, sekaligus keponakan Pangeran Diponegoro. la juga berjuang sendiri dan menyebarkan agama Islam di daerah Tembalang. Saat terjadi peperangan di Jatingaleh Semarang yang meluas sampai ungaran beliau Sang Pangeran dibantu oleh Kyai Galang Sewu dan keluarganya. Termasuk Kakak Kyai Galang Sewu yang bernama R. Sukar. Sehingga ketika Pangeran Diponegoro di asingkan ke Makasar Sulawesi maka R. Sukar pun ikut ke pengasingan bersama rombongan. Beliau wafat dan dimakamkan berada di tengah kampus Universitas Diponegoro, Semarang tepatnya di Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah. sosok Kyai Galang Sewu yang cukup fenomenal adalah tentang perkataan beliau Bahwa nanti suatu saat di atas tanah ini akan bermunculan banyak sekali jamur-jamur.
Perkataan beliau belum bisa dimengerti saat itu. Tapi sekitar tahun 1980an dibangunlah Kampus bernama Politeknik Undip diatas tanah yang dulu di diami oleh Kyai Galang Sewu. Berangsur angsur setelah Politeknik Undip (Polines) berdiri maka Kampus Universitas Diponegoro Semarang pindah naik ke Tembalang Semarang di sekitar komplek Makam Kyai Galang Sewu. Muncul kembali Universitas Pandanaran dan Politeknik Kesehatan (Politekes) Semarang. Sehingga di area sekitar kampus dibangun apartemen serta kos kosan dan ruko-ruko juga sektor ekonomi lainya mulai bermunculan. Ternyata arti dari perkataan Kyai Galang Sewu adalah ini. Pada era ini banyak ulama-ulama yang menyebarkan agama Islam yaitu seperti Pragolapati (Pragola 1) atau Adipati Wijoyo Kusumo Abdullah Taqwa. Pragolapati merupakan putra dari Ki Ageng Panjawi, seorang tokoh perintis Kesultanan Mataram bersama Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Juru Martani. Ki Ageng Panjawi juga pernah memimpin Kabupaten Pati pasca wafatnya Adipati Tondonegoro. Lokasi Makam Pragolapati berada di JalanRaya Gunungpati, Plalangan, Gunungpati. Makam ini berjarak sekitar 7,4 kilometer dari Unnes. Saat masuk ke area makam, peziarah akan disambut oleh pemandangan pepohonan hijau. Bangunan makam berwarna putih dan hijau itu terletak di dataran atas pemukiman warga Plalangan. Pada dindingnya terpajang papan bertuliskan “Makam Eyang Kiai Pati”. Kemudian, Mbah Alian yang merupakan asal usul nama Ngaliyan di Kota Semarang ternyata menyimpan sejarah. Jejak pemilik asal usul nama tersebut pun masih ada, yakni petilasan Mbah Alian. Jejak pemilik asal usul nama Ngaliyan bisa ditemui di Perumahan Wahyu Utomo, Kelurahan Tambak Aji, Kecamatan Nyaliyan. Tepatnya di wilayah RT 02 RW 06. Di kampung yang hijau dan rindang itu, terdapat petilasan Mbah Alian, tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama Ngaliyan.
Kemudian Mbah Mintoloyo yang makamnya berada di Kawasan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang. Makam itu berada di bawah pohon dan bersebelahan dengan mata air yang kerap disebut sebagai sendang Mintoloyo. Tidak jauh dari makam Mbah Mintoloyo, ada makam Mbah Bakal di tengah area TBRS. Kemudian, ada dua makam lagi di Wonderia, yakni Mbah Genuk dan Kliwon. Mbah Mintoloyo merupakan seorang tokoh yang berjasa membuka kawasan Genuk Krajan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, sebagai daerah permukiman. Serta terdapat salah satu ulama yaitu Kyai Batok. Lokasi makam tidak jauh dari pemukiman, di samping makam ada hamparan sawah yang indah. Kayu batok, jalah orang yang pertama kali bubak yoso, atau babat alas di Desa Batok, Kelurahan Bubakan Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Tidak lama kemudian di gantikan lagi dengan Raden Tumenggung Surahadiningrat (1845 – 1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855 – 1860), Bupati Raden Mas Suryokusuma (1860 – 1887). Pada masa 1870-an terdapat ulama besar pada masanya yaitu Kiai Haji Sholeh Darat. Kiai Haji Sholeh Darat merupakan salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di Semarang. la dikenal dengan puluhan karya tulis sekaligus guru besar para santri di Indonesia.
Semasa hidupnya, Ki Sholeh Darat dikenal akan ilmunya yang tinggi. Berbagai karya monumental ia buat. Berkat ilmunya yang tinggi itu, ia mendapat pengakuan dari penguasa Mekkah dan dipilih menjadi seorang pengajar di sana. Selama berkarya, Ki Sholeh Darat banyak menulis terjemahan kitab-kitab ilmu agama dengan bahasa Jawa. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Kitab tafsir dan terjemahan Alquran yang diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, yang menjadi kitab tafsir Alquran pertama dengan bahasa Jawa. Lokasi Makam : Jalan Bendungan, Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Selain itu, juga terdapat Sang Pejuang dan Penyebar Islam di Semarang Wetan. K.H Abdullah sajad, seorang ulama bergaris keturunan Kerajaan Mataram Islam yang berdakwah di Semarang Wetan. Tepatnya di Kelurahan Sendangguwo, sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Tembalang. Sendangguwo sekarang, tidaklah seperti dahulu saat K.H Abdullah Sajad datang. Ia di hantam dengan berbagai tantangan dan rintangan yang tidak mudah. Praktik-praktik kemusyrikan mewarnai kehidupan masyarakatnya. Misalnya, di Sendangguwo dahulu dipercaya ada sebuah sendang atau tempat pemandian, dan di tengah sendang tersebut terdapat sumber air berbentuk gua di dasar air.
Masyarakat mempercayai bahwa di tempat tersebut dihuni makhluk halus. Sebab itulah masyarakat. Sendangguwo waktu itu tidak berani mengambil air di tengah sendang tersebut. Karena takut kualat atau mendapatkan musibah. Ada juga kepercayaan masyarakat Sendangguwo yang mendengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu setiap malam Jumat. Namun anehnya, saat didengar dengan seksama suara lesung tersebut menghilang. Di sekitaran sendang, kurang lebih 500 meter sebelah Barat terdapat sebuah gua yang dipercaya amatlah panjang ukurannya, yakni berawal dari daerah sendang tersebut dan ujungnya ada di daerah Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Praktik kemusyrikan, masyarakat kerap memberikan sesaji di dua tempat tersebut (gendang dan gua) untuk meminta berkah dan dijauhkan dari segala musibah. Tidak hanya itu, masyarakat juga sering melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk yang jauh dari ajaran Islam. Seperti mengadakan pesta dan tari-tarian yang berujung dengan perkelahian dan minum-minuman keras. K.H Abdullah Sajad datang ke Sendangguwo atas perintah gurunya, K.H Sholeh Darat. Kyai Sholeh melihat kondisi masyarakat Semarang Timur saat itu, khususnya Sendangguwo yang begitu parah, utamanya dalam praktik-praktik kemusyrikan. Sehingga K.H Sholeh Darat memerintah murid kinasihnya untuk berdakwah di daerah tersebut. K.H Abdullah Sajad, layaknya seorang santri, jika diperintah oleh gurunya pasti bersedia. Ada ungkapan umum di Pesantren, dari dahulu sampai saat ini yang terus menjadi pedoman kaum santri, yakni “Sendiko Dawuh”. Atas dasar itu, K.H Abdullah Sajad merasa tertantang untuk berdakwah agama, dan memperbaiki moral dan akhlak masyarakat Semarang Timur, khususnya Sendangguwo. Dia kemudian memutuskan untuk tinggal di tempat itu. Segala hambatan dan rintangan dihadapi oleh K.H Abdullah Sajad saat berdakwah. Bahkan la pernah ditantang oleh seorang jawara yang memiliki ilmu kanugaran tingkat tinggi. Ia pun memerintah muridnya yang bernama Ma’ruf agar menghadapi jawara tersebut. Atas do’a K.H Abdullah Sajad, Ma’ ruf berhasil mengalahkan sang jawara. Sejak itulah, mulai banyak masyarakat sekitar yang segan dan menghormatinya.
Dakwah K.H Abdullah Sajad dapat membuahkan hasil. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti ajaran yang dibawanya. Praktik-praktik kemusyrikan yang dilakukan masyarakat lambat laun mulai ditinggalkan dan penerapan nilai-nilai ke-Islam-an mulai dijalankan. Penutupan sedang keramat yang digunakan sebagai media kemusyrikan, juga dilakukan oleh beliau. Dengan cara riyadah kepada Allah Swt, puasa beberapa hari dan sendang tersebut ditutup memakai batang sodo lanang (satu buah batang daun kelapa yang jatuh menancap tanah). Kemudian membaca doa yang berlafalkan, “Laa Ilaaha Ila Anta Yaa Hayuu Yaa Qayyum, Yaa Hannau Yaa Mananu Yaa Dayyanu Yaa Sulthon.
Anehnya, selang beberapa hari di masjid yang beliau bangun di Sendangguwo tersebut, pada waktu pukul 03.00 dini hari terdapat suara yang melantunkan do tersebut kembali. Ternyata, sumber suara tersebut berasal dari jin penunggu sendang. Sampai saat ini, lantunan do’ a tersebut sering dilantunkan oleh masyarakat menjelang shalat subuh berjamaah di masjid yang dibangun oleh K.H Abdullah Sajad. Masjid tersebut saat ini bernama Masjid Jami’ As-Sajad. Masjid yang didirikan Mbah Kyai Sajad digunakan untuk mengajar masyarakat tentang nilai-nilai ke-Islam-an, dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah pondok pesantren. Namun, sangat sulit mendapatkan informasi tentang siapa para santri saat itu. Berdasarkan hasil wawancara dengan K.H Dzikron Abdullah (cucu K.H Abdullah) pengasuh Pondok pesantren Ad-Daenuriyah, Pedurungan, Kota Semarang, santri generasi pertama saat itu adalah masyarakat sekitar dan ada beberapa santri yang datang dari daerah lain. K.H Abdullah Sajad memiliki dua istri, yaitu Nyai Karsanah dan Nyai Qomariyah. Dari pernikahannya dengan Nyai Karsanah dikaruniai enam orang anak, di antaranya,
- Nyai Aisyah yang menjadi istri K. H Munawir, pendiri pondok pesantren di sebelah utara tempat K.H Abdullah Sajad. Sekarang Namanya diabadikan sebagai nama Pondok Pesantren Salafiyah alMunawir.
- K.H Muhammad Dimyati. Lahir pada tahun 1896, la yang melanjutkan dan membesarkan pesantren bapaknya. Mengasuh pesantren sejak umur 22 tahun, sejak K.H Abdullah Sajad wafat pada senin Wage, 16 Agustus 1918.
- Agus Zuhdi yang wafat saat usia muda
- Kholil yang juga wafat pada usia muda
- S. K.H Abdullah Daenuri (1904-1971 M), beliau melanjutkan menjadi penggasuh pesantren semenjak kakaknya K.H Muhamad Dimyati wafat pada tahun 1955.
- K.H Masyhudi yang menjadi anak terakhir dari garis keturunan Nyai Karsana.
Dari keturunan istri pertama ini para cucunya terus bergiat dalam mengabdi dan membina masyarakat. Banyak cucunya yang mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren. Sampai sekarang tercatat pondok pesantren yang bernasab dengan K.H Abdullah Sajad, di antaranya,
- Pondok Pesantren Ad-Daenuriyah I yang merupakan pesantren perintis dan sekarang diasuh oleh K.H Afif Abdillah, putra dari K.H Abdullah Daenuri.
- Pondok Pesantren Salafiyah Al-Munawir, didirikan oleh menantu Mbah Kyai Sajad. Sepeninggal Kyai Munawir, diasuh oleh menantunya Kyai Abdus Somad. Saat ini, pesantren tersebut diasuh generasi cucunya, yakni Kyai Ahmad Rifai dan K.H Ahmad Baidlowi.
- Pondok pesantren Al-Ibriz, didirikan oleh K.H Shonhaji Abdullah, putra Kyai Abdullah Daenuri, yang sekarang diasuh para anaknya.
- Pondok Pesantren Ad-Daenuriyah II, didirikan oleh K.H Dzikron Abdullah yang juga putra Kyai Abdullah Daenuri.
- Pondok Pesantren As-Sajad, pesantren ini merupakan yang termuda dan didirikan oleh Kyai Najib Abdullah, putra Kyai Abdullah Daenuri.
Sedangkan, dari garis keturunan istri yang kedua, yaitu Nyai Qomariah, belum diketahui namanya. Hanya saja ada garis keturunan yang diketahui, yaitu cucunya yang bernama K.H Imran, pendiri Pondok Pesantren Yatim Piatu di daerah Penggaron, Pedurungan Semarang. Kisah K.H Abdullah Sajad ini, dapat diambil hikmah atau pelajaran dari ke-tawadu’an-nya, dengan mematuhi perintah gurunya yang bernama K.H Sholeh Darat. Berbagai rintangan dan hambatan yang ada saat berdakwah untuk membenarkan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat di Sendangguwo, khususnya praktik-praktik kemusyrikan. la sangat sabar dan gigih dalam menyebarkan ajaran Islam. Berkat kegigihan dan semangatnya dalam berdakwah, Sendangguwo yang dahulu adalah tempat yang penuh dengan praktik-praktik kemusyrikan, sekarang menjadi desa tua yang terkenal dengan keislamannya. Kemudian Bupati Raden Mas Suryokusuma digantikan oleh Bupati Raden Reksodirejo (1887 – 1891), Bupati Raden Mas Tumenggung Purbaningrat (1891), Bupati Tjokrodipuro (1891 – 1897), Raden Mas Soebiyono (1897 – 1927), yang bergelar Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat menganugerahkan tiga buah pusaka untuk disimpan di dalam Masjid Agung Semarang yaitu berupa tombak bernama Kyai Plered, Kyai Puger dan Kyai Mojo, sampai saat ini masih terawat dan tersimpan sebagai pusaka Masjid Agung Semarang. Selanjutnya jabatan Bupati Semarang Raden Mas Amin Sujitno (1927 – 1942) Raden Mas AA Sukarman Mertohadinegoro (1942 – 1945) dan Raden Soediyono Taruna Kusumo (1945), hanya berlangsung satu bulan karena memasuki masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Pada masa VOC dan kolonial Belanda, kawasan Kota Lama merupakan pusat pemerintahan, industri (mencakup: jasa komunikasi, transportasi, dan pers), serta perdagangan. Di kawasan ini dibangun fasilitas-fasilitas kota, antara lain schouwburg (gedung teater Marabunta) yang dibangun pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota).
Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda kemudian berakhir pada tahun 1942
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Sejarah perjuangan rakyat Semarang bermula pada 1 Maret 1942, ketika tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Tujuh hari kemudian, tepatnya 8 Maret pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang. Namun, 3 tahun kemudian Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki, pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sayangnya, pasca 17 Agustus 1945 suasana keamanan di Semarang menjadi tidak stabil. Hal ini ditunjukan dengan berbagai konflik bersenjata antara pemuda dengan tentara Jepang yang masih tersisa di Semarang. Hingga akhirnya pada 14 Oktober 1945 terjadi pemindahan tawanan Jepang yang berjumlah sekitar 400 orang dari Pabrik Gula Cepiring menuju penjara Bulu, Semarang oleh para pemuda.
Namun, di tengah jalan, pasukan Jepang melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Kidobutai yang dipimpin oleh Jenderal Nakamura dan Mayor Kido. Kidobutai adalah prajurit yang ditarik mundur dari medan pertempuran Asia Pasifik. Jumlah pasukannya yaitu berjumlah 2000 orang dan terkenal akan keberaniannya, sehingga bisa meminta perlindungan kepada mereka. Mengetahui hal tersebut, rakyat Semarang pun berusaha melawan dan meminta Jepang untuk menyerahkan senjata mereka. Namun, Mayor Kido menolak untuk menyerahkan senjata kepada rakyat Semarang. Tidak hanya itu, pada petang harinya masih di tanggal yang sama terdapat laporan yang masuk bahwa pasukan Jepang menyerang petugas Kepolisian Indonesia yang sedang menjaga persediaan air minum di Wungkal. Kemudian beberapa polisi Indonesia tersebut, menjadi tawanan pasukan Jepang yang kemudian dilucuti perlengkapannya dan disiksa dengan kejam oleh pasukan Jepang di Batalion Kedobutai, Jatingaleh.
Selain itu, laporan lain yang berasal dari sekitar jalan peterongan mengatakan bahwa persediaan air ledeng di kawasan Candi telah diberi racun oleh Jepang agar tidak dikonsumsi oleh pejuang setempat. Rakyat pun menjadi gelisah, karena cadangan air di Reservoir Siranda, desa Wungkal waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang.
Sebagai kepala Rumah Sakit Purusara (sekarang RSUP Dr. Kariadi), Dokter Kariadi yang telah menjabat sejak 1 Juli 1942 berniat memastikan kabar tersebut. dr. Kariadi merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.yang lahir di Kota Malang, pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya, lulus pada 1920. dr. Kariadi juga pernah menjadi peneliti penyakit Malaria Dan Filariasis di Pedalaman Papua. Sayangnya, dalam perjalanan ia dicegat oleh tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang mengendarai mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Kemudian dr. Kariadi dimakamkan dan semenjak tahun 1961 makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Kemudian karena jasa-jasanya, pada tahun 20 Mei 1968, dr Kariadi menerima Satyalencana Sosial secara anumerta. Larinya para tawanan Jepang serta meninggalnya dr Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang.
Keesokan harinya, tanggal 15 Oktober 1945, Angkatan Muda Semarang yang didukung Tentara Keamanan Rakyat menyambut kedatangan 2.000 tentara Jepang ke Kota Semarang. Perang pun terjadi di empat titik di Semarang, yaitu daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pukul 14.00, Mayor Kido memerintah anak buahnya untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Indonesia. Rakyat Indonesia sendiri juga ikut menyerang Jepang dengan membakar gudang amunisi mereka. Mayor Kido membagi pasukannya menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 383 dan 94 orang. Pada pukul 15.00, Mayor Kido mengerahkan semua anggotanya untuk melakukan serangan di sekitar wilayah di bawah komandonya. Saat itu Jepang menangkap Mr Wongsonegoro yang saat itu menjabat sebagai mantan Gubernur Jawa Tengah. Wongsonegoro juga merupakan Wakil Perdana Menteri Indonesia Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada tahun 1953 hingga tahun 1955 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1951 hingga tahun 1952. Selain itu pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia, ia juga bergabung dengan BPUPKI, mewakili Surakarta, bersama-sama dengan Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Wedyodiningrat. Wongsonegoro lahir 20 April 1897 dan wafat pada 4 Maret 1978.
Pertempuran antara Jepang dan rakyat Indonesia di Semarang pun terus berlangsung sampai hari telah berganti. Tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul 16.30. Sejak saat itu, anak buah Mayor Kido semakin menggila dan terus melakukan serangan sampai tanggal 19 Oktober 1945. Pada tanggal 19 Oktober 1945, sempat terjadi gencatan senjata antara kedua belah piak, tetapi hal ini tetap tidak memadamkan situasi yang sedang genting. Mengetahui serangan tersebut, Tentara Keamanan Rakyat mengirim bala bantuan ke Kota Semarang. Pertempuran tidak seimbang terjadi antara pasukan Belanda dengan pejuang kemerdekaan, di wilayah Bugen Tlogosari Kulon. Pasukan kemerdekaan yang terdiri dari Tentara Pelajar, Hisbullah dan Fisabilillah berjuang mati-matian melawan tentara Belanda bersenjata lengkap. Namun karena kalah senjata dan jumlah pasukan, pasukan kemerdekaan harus meregang nyawa di dalam rumah salah satu warga Bugen. Sebanyak 74 tubuh pejuang itu penuh luka dan lubang peluru, dan tentara Belanda menguburkan seluruh jasad dalam satu lubang di depan rumah. Rumah milik Mustofa saat itu digunakan sebagai tempat persembunyian pejuang. Perjuangan ini dikenal dengan nama “Pertempuran lima hari di Semarang”.
Saat ini, rumah milik Mustofa ditempati generasi ketiga dari keluarga Mustofa. Sisa-sisa dari catatan sejarah berupa lubang-lubang peluru, masih terlihat jelas di dinding rumah kanan dan kirinya. Sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang yang gugur di Kampung Bugen, jalan di depan Taman Makam Pahlawan Syuhada hingga menuju jalan besar Arteri Soekarno-Hatta diberi nama Jalan Syuhada. Pada akhirnya, Pertempuran Lima Hari Semarang berhasil diakhiri setelah Kasman Singodimedjo dan Mr Sartono yang mewakili Indonesia berunding dengan Komandan Tentara Jepang Letkol Nomura. Selain sebagai Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia, Kasman Singodimejo adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946 dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Selain itu ia juga pernah menjadi Rektor pertama Universitas Islam Indonesia dan Anggota Konstituante Republik Indonesia.
Kasman Singodimedjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 25 Februari 1904 dan wafat di Jakarta, pada tanggal 25 Oktober 1982 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Selain itu, Sartono juga merupakan seorang pengacara dan politisi yang bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di masa awal kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri Negara di Kabinet Presidensial. Sartono lahir pada 5 Agustus 1900 hingga wafat pada tanggal 15 Oktober 1968. Keduanya berunding untuk mengupayakan gencatan senjata. Selain itu, ada juga dari pihak Sekutu yang ikut berunding, yaitu Jenderal Bethel. Pihak Sekutu kemudian melucuti seluruh persenjataan Jepang tanggal 20 Oktober 1945. Dengan dilucutinya senjata Jepang, maka peristiwa Pertempuran Lima Hari Semarang resmi berakhir. Peristiwa Pertempuran Lima Hari Semarang dikenang dengan pembangunan Tugu Muda di Simpang Lima, Kota Semarang. Tugu Muda dibangun tanggal 10 November 1950 dan diresmikan oleh Soekarno tanggal 20 Mei 1953.
Masa Kemerdekaan Negara Republik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, bupati Semarang dijabat oleh M. Soemardjito Priyohadisubroto (1946 – 1949). Kemudian pada masa Pemerintahan RIS yaitu pemerintahan federal diangkat Bupati RM. Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserahterimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetojo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang sebagai Kota Praja. Tahun 1946 lnggris atas nama Sekutu menyerahkan Kota Semarang kepada pihak Belanda. Ini terjadi pada tangga l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, walikota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah Kota
Semarang, namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian diluar kota sampai dengan bulan Desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan kemudian dipimpin oleh Moh Ichsan (1945 – 1949). Mohammad Ichsan, lahir di Weleri tahun 1902. Ayahnya merupakan bupati Kendal, yang selalu berharap 2 putranya berkesempatan untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Setamat HBS, Ichsan berkesempatan melanjutkan kuliah hukum di Universitas Leiden. Ichsan tergabung dengan para pemuda pemudi yang terhimpun dalam ‘perhimpunan Indonesia’. Kemudian pada tahun 1935 menikah dengan Rochaniah Moetmainah.
Dalam kedudukannya sebagai orang pemerintah RI (1945 – 1967) ia pun akrab berteman dengan para juru foto (jurnalis) dan wartawan. Kadang kisahnya bersambung, semisalnya Ia pernah bercerita tentang wartawan muda (tahun 1960an) yang dia anggap cerdas. Moh Ichsan memiliki kedekatan yang sangat akrab dengan Bung Karno. Moh Ichsan juga turut membangun Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di tahun 1949, dengan kunjungan studi di Belanda. Maka jabatan awalnya sebagai Sekjen pemurnian menjadi Inspektur Jenderal, mengunjungi membantu perwakilan perwakilan yang tengah dirintis. Saat Pak Ichsan wafat di tahun 1991, protokol mengharuskan pemimpin upacara pemakaman kehormatan militer adalah Pak Saadillah Mursyid sebagai Sekretaris Negara jabatan sama yang pernah diemban Pak Ichsan. Kemudian, Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950 Mayor Suhardi komandan KMKB, menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono (1949 – 1951), seorang pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri di Yogyakarta. Ia menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan. Hingga saat ini, terdapat beberapa pimpinan daerah yang telah memimpin Kota Semarang yaitu sebagai berikut:
Daftar penguasa Semarang di bawah pemerintahan PajangMataram-Pra
Kemerdekaan
- Raden Kaji/Ki Ageng Pandan Arang II (1547-1553)
- Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586)
- Astrayuda/Menggala (1586-1589)
- Waraganaya/Nayamerta (1589-1631)
- Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659)
- Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 – 1666)
- Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670)
- Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674)
- Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1713)
- Raden Mertoyudo/Raden Suminingrat (1713-1723)
- Tumenggung Astroyudo (1723-1742)
- Raden Suminingrat Al. Surohadimenggolo (1743-1751)
- Martowijoyo (1751-1773)
- Bupati Surohaddimenggolo IV (1773-1778)
- Adipati Surohadimenggolo V (1778-1841)
- Putra Surohadimenggolo/ Surohadimenggolo VI (1841-1845)
- Raden Tumenggung Surhadaningrat (1845-1855)
- Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860)
- Raden Tumenggung Pangeran Suryokusumo (1860-1887)
- R.T.P Reksodirjo (1887-1891)
- RMTA Purbaningrat (1891-1891)
- Raden Tjokrodipuro (1891-1897)
- R.M. Soebijono (1897-1942)
- R.M. Amin Sujitno (1942)
- R.M.A.A Soekarman Mertohadinegoro (1942-1945)
Kemudian terdapat masa pemerintahan bupati Semarang yaitu sebagai berikut:
- Soedijono Taroeno Koesoemo (1945-1945)
- M. Soemarjito Prijohadisoebroto (1946-1949)
- R.M. Tjondronegoro (1949-1949)
- M. Soemardjito Prijohadisoebroto (1949-1952)
- R. Oetomo Koesoemo (1952)1952)
Kemudian daftar walikota Kota Semarang sejak Indonesia merdeka tahun 1945 yaitu sebagai berikut:
- Mr. Moch. Ichsan (1945 – 1949)
- Mr. Koesoebiyono Tjondrowibowo (1 April 1950–1 Juli 1951)
- RM. Hadisoebeno Sosrowerdoyo (1 Juli 1951–1 Januari 1958)
- Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 Januari 1958–1 Januari 1960)
- RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 Januari 1961–26 April 1964)
- Mr. Wuryanto (25 April 1964–1 September 1966)
- Letkol. Soeparno (1 September 1966–6 Maret 1967)
- Letkol. R.Warsito Soegiarto (6 Maret 1967–2 Januari 1973)
- Kolonel Hadijanto (2 Januari 1973–15 Januari 1980)
- Kol. H. Iman Soeparto Tjakrajoeda SH (15 Januari 1980–19 Januari 1990)
- Kolonel H. Soetrisno Suharto (19 Januari 1990–19 Januari 2000)
- H. Sukawi Sutarip SH. (19 Januari 2000–2010)
- Drs. H. Soemarmo HS, MSi. (2010–2013)
- Hendrar Prihadi, SE, MM. (2013-2022)
- Ir. Hj. Hevearita G. Rahayu – Wakil Walikota (2022-sekarang)
abc Selain itu, terdapat daftar wakil walikota Kota Semarang dari masa ke masa yaitu sebagai berikut:
- Drs. Muchafif Adisubrata, M.Si. – Wakil Walikota (2000 – 2005)
- Mahfudz Ali, S.H, M.Si. – Wakil Walikota (2005 – 2010)
- Hendrar Prihadi, S.E, M.M. – Wakil Walikota (2010 – 2013)
- Ir. Hj. Hevearita G. Rahayu – Wakil Walikota (2016 – 2022)